Sabtu, 03 September 2016

kepribadian guru

Kepribadiaan bagi seorang guru menurut Al-Ghazali sangat penting. Al-Ghazali berkata:
“Guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”[1]

Perkataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang guru adalah lebih penting dari pada ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena kepribadian seorang guru akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, Al-Ghazali sangat menganjurkan agar seorang guru mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan kepada anak didiknya. Antara guru dengan anak didik oleh Al-Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang-bayang. Bagaimana bayang-bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.
Kata Imam Al-Ghazali:
“Perumpamaan guru dengan murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat dan bayang-bayang dengan sepotong kayu. Maka bagaimanakah tanah itu bias terukir indah, padahal ia adalah material yang tidak sedia diukir dan bagaimana pula bayang-bayang itu menjadi lurus, sedangkan kayu yang tersinar itu bengkok.”[2]

Maka dari itu, kepribadian seorang guru dipandang sangat penting. Karena tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga harus mampu melaksanakan atau memberi  contoh  sesuai dengan apa yang telah diberikan atau  yang diajarkan kepada anak didiknya.
Menurut Fathiyah, syarat-syarat kepribadian (sifat-sifat terpenting) yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain:[3]
1)      Jujur dan tulus dalam berkarya.
2)      Santun dan sayang terhadap murid.
3)      Toleran dan berlapang dada dalam hal-hal berkaitan dengan ilmu dan abdi ilmu.
4)      Tidak terpaut pada materi.
5)      Berilmu luas dan bermakrifah yang dalam serta berpendirian kuat dan berpegang teguh pada prinsip
Munurut Zainuddin, syarat-syarat kepribadian guru adalah sebagai berikut:[4]
1)      Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik, karena kepandaian murid itu mungkin berbeda-beda. Maka dari itu, guru harus dapat mengukur kadar dan kemampuan muridnya, sehingga ia tidak memberi pertanyaan yang terlalu mudah kepada mereka yang pandai, dan ia bertanya materi yang terlalu sulit bagi mereka yang terlalu pandai. Dengan demikian guru selalu menjadi pusat perhatian bagi murid, mereka tidak akan menyepelekan dan tetap menghormatinya.
2)      Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)      Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya’ atau pamer.
4)      Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang dhalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5)      Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan-pertemuan.
6)      Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.
7)      Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)      Menyantuni serta tidak membentak-bemtak orang-orang bodoh.
9)      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10)  Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti.
11)  Menampilkan hujjah yang benar, apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ pada kebenaran.
Kemudian Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang guru:[5]
1.      Bersikap lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri.
Seorang yang akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila memunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana yang ia lakukan  terhadap anaknya sendiri.
Dalam kaitan ini, Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya, orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak ke dunia yang hanya sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu, seorang guru memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua murid. Oleh sebab itu, seorang guru wajib memperlakukan murid-murid dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat yang kekal dan bahagia.
2.      Tidak menuntut upah dari murid-muridnya. Ia berpandangan bahwa mengajar itu wajib bagi setiap orang yang berilmu, maka seorang guru baginya, tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar dan mengharapkan pujian, ucapan terima kasih atau balasan bagi murid-muridnya, karena ia melaksanakan kewajibannya.
3.      Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus bersungguh-sungguh dan tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika mereka membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu yang sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata peserta didiknya..
4.      Menjauhi akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, dan harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan beraklak terpuji lainnya.
Hal itu dikarenakan bahwa teladan yang dijadikan ikutan dan anutan oleh murid-muridnya, maka kepribadian yang mulia dan kelapangan dada harus diangkat sebagai sifat-sifat utama bagi seorang guru.
5.      Tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya mencari pula ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan kepada salah seorang guru sedang yang lain tidak. Kata Imam Ghazali:
“Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain di hadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih, guru fiqih melecehkan ilmu-ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya”.[6]

6.      Memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami potensi yang dimiliki anak didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki murid. Dalam hubungan ini Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas pemahaman murid. Dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya. Al-Ghazali berkata:
“Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberi pelajaran yang belum sampai tingkat akal pikirannya sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul otaknya.”[7]

Jelaslah bahwa, seorang guru seharusnya dapat memperkirakan mata pelajaran yang dapat dijangkau oleh pemahaman anak, yaitu memberikan pelajaran dan sesuatu hakikat pada anak apabila diketahui bahwa anak itu akan sanggup memahaminya dan menempatkan setiap anak pada tempat yang wajar sesuai dengan kemampuan akal pikirannya serta memperhatikan tingkat kecerdasan dan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat mengerti, memahami dan menguasai mata pelajaran itu dengan sesungguhnya.
Imam Ghazali dalam pemikirannya telah sampai kepada tujuan yang telah dicapai oleh para tokoh pendidik modern. Yakni, perlu adanya keharmonisan antara bahan pelajaran dengan Intelligence Quotient (IQ) murid. Karena tanpa adanya keserasian ini menyebabkan murid meninggalkan pelajaran dan kacau pikirannya, yang berakhir dengan kecemasan dan kegagalan.
Selain itu, Al-Ghazali juga berkata:[8]
“Sesungguhnya faktor yang mendorong membekasnya keraguan murid pada guru adalah perasaan bahwa gurunya kikir ilmu dan tidak melaksanakan kewajibannya, khusus apabila murid di satu sisi dibohongi yang biasanya menyertai masa dewasa. Oleh karena itu,hendaklah guru menyampaikan ilmu pada murid yang hendak kemampuannya secara jelas yang sesuai dengan umurnya dan jangan menjelaskan bahwa di balik ini ada rahasia yang tersimpan yang dapat merendahkan keinginannya pada apa yang nyata dan meragukan hatinya dan menyangka guru kikir padanya. Setiap orang akan menyangka bahwa dia ahli ilmu-ilmu yang rahasia. Tiada seorangpun yang tidak memperoleh dari Allah kesempurnaan akalnya. Sebab sebodoh-bodoh dan selemah-lemah akal mereka, mereka bangga dengan kesempurnaan akalnya”.

7.      Kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan suatu pelajaran (ilmu pengetahuan).
8.      Guru harus mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
9.      Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu. Seorang guru harus memegang dasar-dasar agama yang prinsip dan berusaha merealisirnya, diantaranya adalah bersikap adil.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.. Al-Ma’idah: 8)[9]

Dalam pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang guru meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.      Tabi’at dan perilaku pendidik.
2.      Minat dan perhatian terhadap proses belajar-mengajar.
3.      Kecakapan dan keterampilan mengajar.
4.      Sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran.
            Dalam suasana tertentu seorang guru pun juga harus berperan sebagai kawan berani dalam rangka bimbingan ke arah terwujudnya tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Disamping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya sebagai pembimbing. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang baik darinya akan memancar kepada muridnya. Oleh karena itu, seorang guru harus mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi dan senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip mengajar seperti kasih sayang, tidak membesar-besarkan kesalahan murid, tidak mengejek atau mencelanya, tidak menggunakan kekerasan dalam mengubah perilaku murid yang tidak baik menjadi beraklak mulia.  Sedapat mengkin dalam memberi nasihat, seorang guru menggunakan kata-kata kiasan atau sindiran, tidak secara langsung, karena cara yang kurang bijaksana dalam mengubah perilaku dapat menyebabkan murid mungkin takut kepada guru, sungkan, menentang atau berani kepadanya. Al-Ghazali  berkata :
Bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru dan mengakibatkan dia lebih berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu”.[10]

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sosok guru ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah. Ia menjadi idola di mata siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Di sini terlihat bahwa pada akhirnya para siswa dibimbing menuju Allah, atau berbagai upaya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dalam belajar, namun pada akhirnya harus dapat membawa siswa menuju Allah. Atas dasar ini, terlihat jelas sekali pengaruh pemikiran Al-Ghazali sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula sikap guru yang harus berniat ikhlas, tidak mengharapkan imbalan, berakhlak mulia, mengamalkan ilmu yamg diajarkannya dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah, adalah merupakan nilai-nilai ajaran tasawuf, yaitu ajaran tentang zuhud, qana’ah, tawakkal, ikhlas dan ridla sebagaimana telah diuraikan di atas.




[1]     Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit.,  hlm. 222.
[2]     Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazail, op. cit., hlm. 52.
[3]     Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali), op. cit., hlm. 45.
[4]     Zainuddin, et. al., op. cit., hlm. 56-57.
[5]     Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), op. cit., hlm. 98-101.
[6]     Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit.,  hlm. 218.
[7]     Al-Ghazali, Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit.,  hlm. 219.
[8]     Dahlan Tamrin¸ Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya, (Malang: 1988), hal. 56.
[9]     DEPAG RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 159.
[10]     Al-Ghazali, Terj. Ismail Yakub, op. cit.,  hlm. 217.