Kepribadiaan bagi
seorang guru menurut Al-Ghazali sangat penting. Al-Ghazali berkata:
“Guru itu harus mengamalkan sepanjang
ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat
dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Yang mempunyai mata
kepala adalah lebih banyak.”[1]
Perkataan Al-Ghazali tersebut
dapat disimpulkan bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian
seorang guru adalah lebih penting dari pada ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Karena kepribadian seorang guru akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya,
baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Jadi, Al-Ghazali sangat menganjurkan agar seorang guru mampu
menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan
pengetahuan yang diberikan kepada anak didiknya. Antara guru dengan anak didik
oleh Al-Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang-bayang. Bagaimana
bayang-bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.
Kata Imam Al-Ghazali:
“Perumpamaan guru dengan murid adalah
bagaikan ukiran dengan tanah liat dan bayang-bayang dengan sepotong kayu. Maka
bagaimanakah tanah itu bias terukir indah, padahal ia adalah material yang
tidak sedia diukir dan bagaimana pula bayang-bayang itu menjadi lurus,
sedangkan kayu yang tersinar itu bengkok.”[2]
Maka dari itu,
kepribadian seorang guru dipandang sangat penting. Karena tugas guru bukan saja
melaksanakan pendidikan, ia juga harus mampu melaksanakan atau memberi contoh
sesuai dengan apa yang telah diberikan atau yang diajarkan kepada anak didiknya.
Menurut Fathiyah,
syarat-syarat kepribadian (sifat-sifat terpenting) yang harus dimiliki oleh
seorang guru, antara lain:[3]
1)
Jujur dan
tulus dalam berkarya.
2)
Santun dan
sayang terhadap murid.
3)
Toleran
dan berlapang dada dalam hal-hal berkaitan dengan ilmu dan abdi ilmu.
4)
Tidak
terpaut pada materi.
5)
Berilmu
luas dan bermakrifah yang dalam serta berpendirian kuat dan berpegang teguh
pada prinsip
Munurut Zainuddin,
syarat-syarat kepribadian guru adalah sebagai berikut:[4]
1)
Sabar
menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik, karena
kepandaian murid itu mungkin berbeda-beda. Maka dari itu, guru harus dapat
mengukur kadar dan kemampuan muridnya, sehingga ia tidak memberi pertanyaan
yang terlalu mudah kepada mereka yang pandai, dan ia bertanya materi yang
terlalu sulit bagi mereka yang terlalu pandai. Dengan demikian guru selalu
menjadi pusat perhatian bagi murid, mereka tidak akan menyepelekan dan tetap
menghormatinya.
2)
Senantiasa
bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)
Jika duduk
harus sopan dan tunduk, tidak riya’ atau pamer.
4)
Tidak
takabur, kecuali terhadap orang yang dhalim, dengan maksud mencegah dari
tindakannya.
5)
Bersikap
tawadlu’ dalam pertemuan-pertemuan.
6)
Sikap dan
pembicaraannya tidak main-main.
7)
Menanam
sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)
Menyantuni
serta tidak membentak-bemtak orang-orang bodoh.
9)
Membimbing
dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10)
Berani
berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti.
11)
Menampilkan
hujjah yang benar, apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ pada
kebenaran.
Kemudian Al-Ghazali
mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang guru:[5]
1.
Bersikap
lembut dan kasih sayang kepada anak didiknya dan harus mencintai muridnya
seperti mencintai anaknya sendiri.
Seorang yang akan berhasil
melaksanakan tugasnya apabila memunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang
terhadap muridnya sebagaimana yang ia lakukan
terhadap anaknya sendiri.
Dalam
kaitan ini, Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua
anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya, orang tua
berperan sebagai penyebab adanya si anak ke dunia yang hanya sementara ini,
sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di
akhirat. Oleh sebab itu, seorang guru memiliki posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan posisi orang tua murid. Oleh sebab itu, seorang guru wajib
memperlakukan murid-murid dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar
mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan di akhirat yang kekal dan
bahagia.
2.
Tidak
menuntut upah dari murid-muridnya. Ia berpandangan bahwa mengajar itu wajib
bagi setiap orang yang berilmu, maka seorang guru baginya, tidak boleh menuntut
upah atas jerih payahnya mengajar dan mengharapkan pujian, ucapan terima kasih
atau balasan bagi murid-muridnya, karena ia melaksanakan kewajibannya.
3.
Tidak
menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus bersungguh-sungguh
dan tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika mereka
membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu yang sesuai dengan setiap
tingkat kecerdasan para siswa. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena
ia menjadi idola di mata peserta didiknya..
4.
Menjauhi
akhlak yang tercela dengan cara menghindarinya sedapat mungkin, dan harus
memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah
hati dan beraklak terpuji lainnya.
Hal itu dikarenakan bahwa teladan
yang dijadikan ikutan dan anutan oleh murid-muridnya, maka kepribadian yang
mulia dan kelapangan dada harus diangkat sebagai sifat-sifat utama bagi seorang
guru.
5.
Tidak
mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan
kecenderungannya, dan hendaklah seorang guru mendorong muridnya mencari pula
ilmu dari yang lain dengan meninggalkan kefanatikan kepada salah seorang guru
sedang yang lain tidak. Kata Imam Ghazali:
“Seorang guru yang bertanggung jawab
pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain di
hadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih, guru
fiqih melecehkan ilmu-ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits
dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian
adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya”.[6]
6.
Memperlakukan
murid sesuai dengan kesanggupannya, dan memahami potensi yang dimiliki anak
didik Seorang guru harus mamahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga
disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang
akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
Seorang guru yang baik juga harus
memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara
individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki
murid. Dalam hubungan ini Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri
dalam mengajar sesuai dengan batas pemahaman murid. Dan ia sepantasnya tidak
memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya. Al-Ghazali
berkata:
“Seorang guru hendaklah dapat
memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberi pelajaran yang belum
sampai tingkat akal pikirannya sehingga ia akan lari dari pelajaran atau
menjadikan tumpul otaknya.”[7]
Jelaslah bahwa, seorang guru
seharusnya dapat memperkirakan mata pelajaran yang dapat dijangkau oleh pemahaman
anak, yaitu memberikan pelajaran dan sesuatu hakikat pada anak apabila
diketahui bahwa anak itu akan sanggup memahaminya dan menempatkan setiap anak
pada tempat yang wajar sesuai dengan kemampuan akal pikirannya serta
memperhatikan tingkat kecerdasan dan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat
mengerti, memahami dan menguasai mata pelajaran itu dengan sesungguhnya.
Imam Ghazali dalam pemikirannya
telah sampai kepada tujuan yang telah dicapai oleh para tokoh pendidik modern.
Yakni, perlu adanya keharmonisan antara bahan pelajaran dengan Intelligence
Quotient (IQ) murid. Karena tanpa adanya keserasian ini menyebabkan murid
meninggalkan pelajaran dan kacau pikirannya, yang berakhir dengan kecemasan dan
kegagalan.
Selain itu,
Al-Ghazali juga berkata:[8]
“Sesungguhnya faktor yang mendorong
membekasnya keraguan murid pada guru adalah perasaan bahwa gurunya kikir ilmu
dan tidak melaksanakan kewajibannya, khusus apabila murid di satu sisi
dibohongi yang biasanya menyertai masa dewasa. Oleh karena itu,hendaklah guru
menyampaikan ilmu pada murid yang hendak kemampuannya secara jelas yang sesuai
dengan umurnya dan jangan menjelaskan bahwa di balik ini ada rahasia yang
tersimpan yang dapat merendahkan keinginannya pada apa yang nyata dan meragukan
hatinya dan menyangka guru kikir padanya. Setiap orang akan menyangka bahwa dia
ahli ilmu-ilmu yang rahasia. Tiada seorangpun yang tidak memperoleh dari Allah
kesempurnaan akalnya. Sebab sebodoh-bodoh dan selemah-lemah akal mereka, mereka
bangga dengan kesempurnaan akalnya”.
7.
Kerja sama
dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan suatu pelajaran (ilmu
pengetahuan).
8.
Guru harus
mengingatkan muridnya, agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk
kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tapi untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Guru juga harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang
bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
9.
Guru harus
dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran
anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu. Seorang guru harus memegang
dasar-dasar agama yang prinsip dan berusaha merealisirnya, diantaranya adalah
bersikap adil.
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S..
Al-Ma’idah: 8)[9]
Dalam pernyataan di atas, dapat
dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang guru meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.
Tabi’at
dan perilaku pendidik.
2.
Minat dan
perhatian terhadap proses belajar-mengajar.
3.
Kecakapan
dan keterampilan mengajar.
4.
Sikap
ilmiah dan cinta terhadap kebenaran.
Dalam
suasana tertentu seorang guru pun juga harus berperan sebagai kawan berani
dalam rangka bimbingan ke arah terwujudnya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan. Disamping itu, kewibawaan juga sangat menunjang dalam perannya
sebagai pembimbing. Semua perkataan, sikap dan perbuatan yang baik darinya akan
memancar kepada muridnya. Oleh karena itu, seorang guru harus mempunyai
kemampuan intelektual yang tinggi dan senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip
mengajar seperti kasih sayang, tidak membesar-besarkan kesalahan murid, tidak
mengejek atau mencelanya, tidak menggunakan kekerasan dalam mengubah perilaku murid
yang tidak baik menjadi beraklak mulia.
Sedapat mengkin dalam memberi nasihat, seorang guru menggunakan
kata-kata kiasan atau sindiran, tidak secara langsung, karena cara yang kurang
bijaksana dalam mengubah perilaku dapat menyebabkan murid mungkin takut kepada
guru, sungkan, menentang atau berani kepadanya. Al-Ghazali berkata :
“Bahwa guru menghardik muridnya
dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan
cara terus terang. Dan dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek.
Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru dan
mengakibatkan dia lebih berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat
itu”.[10]
Berdasarkan uraian di atas,
terlihat bahwa sosok guru ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar
yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua
yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan
intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, dapat bekerja
sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah. Ia menjadi idola di mata
siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya
menuju jalan akhirat. Di sini terlihat bahwa pada akhirnya para siswa dibimbing
menuju Allah, atau berbagai upaya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya
dalam belajar, namun pada akhirnya harus dapat membawa siswa menuju Allah. Atas
dasar ini, terlihat jelas sekali pengaruh pemikiran Al-Ghazali sebagaimana
disebutkan di atas. Demikian pula sikap guru yang harus berniat ikhlas, tidak
mengharapkan imbalan, berakhlak mulia, mengamalkan ilmu yamg diajarkannya dan
menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah, adalah merupakan nilai-nilai
ajaran tasawuf, yaitu ajaran tentang zuhud, qana’ah, tawakkal, ikhlas dan ridla
sebagaimana telah diuraikan di atas.
[1] Al-Ghazali, Terj. Ismail
Yakub, op. cit., hlm. 222.
[2] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan
Versi Al-Ghazail, op. cit., hlm. 52.
[3] Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran
Dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali), op.
cit., hlm. 45.
[4] Zainuddin, et. al., op.
cit., hlm. 56-57.
[5] Abuddin Nata, Perspektif
Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali),
op. cit., hlm. 98-101.
[6] Al-Ghazali, Terj. Ismail
Yakub, op. cit., hlm. 218.
[7] Al-Ghazali, Al-Ghazali,
Terj. Ismail Yakub, op. cit., hlm. 219.
[8] Dahlan Tamrin¸ Al-Ghazali
dan Pemikiran Pendidikannya, (Malang :
1988), hal. 56.
[9] DEPAG RI , Al-Qur’an
Dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 159.
[10] Al-Ghazali, Terj. Ismail
Yakub, op. cit., hlm. 217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar